Pertanda
“tes-tes!” titik-titik air turun, bertambah besar sehingga,
“tek-kretek-kretek…” bunyi atap rumah berupa seng yang di guyur hujandisambut beberapa teriakan dan keluhan orang-orang,
“yah, udan maning!”
“mbook, klambine dientasi!”
“udan kang! Nganggo mantel, kiye!”
juga ada sebagian kecil berupa petani yang bersyukur,
“alhamdulillah…! Pariku disirami Gusti Allah!”
memang, hujan adalah karunia Allah, rizki yang diberikan Allah melalui Mika’ilharusnya disyukuri, bukan malah disesalkan atau dikeluhkan.
Mungkin, ketika hujan agak deras ini kalian sedang mengeluhkan bahkan mengata-ngatai dengan ucapan yang tak enak didengar atau jika anak-anak, sedang cerianya bermain-main pancuran talang pada atap rumah, bercripatan dengan teman sebayanya atau kecean di genangan air di tanah becek tak berpikir penyakit mengintai mereka walau ibu mereka memanggil-manggil sampai suaranya serak. Beda air beda ikannya, beda tanah beda cacingnya, beda tempat beda suasananyaseperti desa Karangsuci. Desa ini sedang gerah-gerahnya dengan ujian yang diberikanNya. Sudah dua minggu penyakit demam berdarah tlah merambah desa ini. Betapa tak sadar mereka yang menjadi bagian desa ini sama sekali tak peduli dengan lingkungan sekitar hingga ketika hujan turun, air hujan menggenangi sampah kaleng yang dibiarkan begitu saja, selokan mampet menjadi sarang nyamuk ganas yang disebut sebagai aides aigepthy itu kalau aku tak salah mengejanya. Disamping itu, ada segelintir manusia yang mulai menyadari dan melakukan tiga M atau apalah aku kurang mengetahuinya.
“Akh! Sialan! Kenapa aku jadi kebanyakan ngoceh gini!”
baiklah, kita alihkan pembicaraan ini ke sebuah rumah kecil di pinggir kuburan di desa ini.
Kepala keluarga rumah kecil itu bernama pak Hamid. Pak Hamid baru saja mengikuti penguburan jenazah seorang nenek tua yang malangmeninggal digerogoti penyakit demam berdarah, ih! tragis sekali! betapa kekurang-perhatian mereka terhadap lingkungan telah membunuh nenek tua itu. Tak hanya nenek itu, tapi sudah ada belasan atau bahkan puluhan yang menderita penyakit sama.
Seseorang tetangga pak Hamid mendekati bapak dua orang anak itu, lalu bertanya:
“Mid, siapa yang meninggal pagi-pagi gini ?”
“Eh, kamu War! Eee…yang baru saja dikubur, e.. ibu-ibu dari dusun kidul, War!”
jawab pak Hamid gugup.
“Tadi malem jam dua belas, aku denger suara ‘BLUM!’ lagi, War” lanjut pak Hamid
“ Aku juga denger waktu nonton tivi, kemarin malem juga, udah sering banget malah! Ih, ngeri dah!” balas Pak Warno.
Kalian mungkin masih bingung tentang suara dentuman ‘BLUM!’ yang dibicarakan dua kepala rumah tangga tersebut? Masyarakat desa terutama ‘tetangga’ kuburan ini memang sudah mengetahui dari turun temurun aliasnya sudah melegenda. Setiap tengah malam jika terdengar suara dentuman dari sungai yang membatasi sebelah utara kuburan berarti pertanda bahwa besoknya akan ada yang mati di desa ini, juga jika bandosan atau keranda mayat yang ada di tengah kuburan bergerak sendiri. Pernah seorang yang berani ingin menyelidikinya. Ketika barusaja mendengar dentuman orang itu langsung berangkat ke kuburan dengan modal rasa keberanian dan segelondong senter besar. Dia berjalan menuju sungai kecil dengan melintasi sebuah jalan setapak dan sebuah bangunan di tengah kuburan yang digunakan sebagai tempat keranda. Namun ketika dia berada di depan bangunan tiu, dia mendapati keranda mayat bergerak-gerak dan sial, senter tiba-tiba mati. Dia yang ‘pemberani’ itu tiba-tiba lari kocar-kacir kembali ke rumah dengan bantuan sinar bulan yang saat itu purnama. Esoknya dia ceritakan pada masyarakat setempat ‘petualangan’nya, lantas saja mereka terkaget-kaget mendengarnya ada yang percaya, ada yang tidak. Aku yang mendengarnya saja langsung tersentak dan tertawa terbahak-bahak bukan malah terkagum-kagum. Ha, ha, ha…! Kupikir mungkin keranda yang bergerak itu gara-gara seekor kucing yang mengejar tikus di atas keranda yang digantungkan kawat yang dicantelkan pada atap. Sudahlah! Kembali pada pertemuan dua bapak tadi.
Pak Hamid menghentikan pembicaraannya dengan pak Warno dengan alasan mau memperbaiki atap yang bocor, padahal ingin melanjutkanmenyruput kopi yang sudah tak panas lagi ditinggal gara-gara penguburan itu.
Jam tua yang ada pada dinding rumah pak Hamid berdentang, teng, teng, teng…! Pak hamidpun mendengarnya dihitungnya ada sembilan dentangan. Ya! Kini jam sembilan pagi. Ow, ada motor menuju rumah pak Hamid. Seorang bapak-bapak memakai baju safari dan seorang anak membonceng berbaju putih dan memakai rok warna merah. Ee… yang membonceng itu kan…, Wati, anak bungsu pak hamid! Kok pagi-pagi udah pulang, ya ?
Pak Hamid yang baru menghabiskan segelas kopi yang tak panas lagiberanjak dari sofa empuk di ruang tamu dan berjalan mendekati pintu sembari memperhatikan pelaju sepeda motor yang sedang memarkir motornya di halaman. Sang Wati terlihat lemas, lalu bapak itu menggendongnya. Pak Hamid membuka pintu, dan,
“Ya Allah! Wati kenapa?” pak Hamid kaget, mendekati wati dan bapak bersafari itu menyerahkan wati ke tangan pak hamid. Wati digendongnya, diperhatikan putri kecilnya yang kemarin riang menyanyi-nyanyi dihadapan kedua orangtuanya, sekarang pucat pasi dan lemas tak berdaya.
“pak, wati kenapa, pak? Ya Allah, badan Wati panas sekali!”
“saya kurang tahu, pak! Dengan melihat gejala seperti itu, nampaknya wati terkena demam berdarah, pak! Itu juga saya baru mengira-ngira, pak!” jawab bapak bersafari dengan menggaruk-garuk rambut.
“kalau begitu, saya permisi kembali ke sekolah, anak-anak sedang menunggu!” lanjut bapak bersafari yang ternyata adalah guru wati sendiri.
“o, ya! Silakan” balas pak hamid sambil membawa wati ke dalam rumah.
Pak hamid memanggil istrinya, beberapa detik kemudian muncul ibu wati dari dapur, terlihat celemek masih dipakai, sekitar pagi ini memang biasa ibu wati baru memasak.
“ada apa, pak!” tanya ibu heran dan melihat keadaan wati ibu langsung mengerti
“wa…”
“Ya Allah, Wati..! kamu kenapa ti…!” ibu memotong kata pak hamid. Ia menangis pak hamid lalu menjelaskannya.
Tiga menit kemudian pak hamid mengeluarkan sepeda motornya dari garasi kecil samping rumah. ibu dan wati menyusul, lalu pak hamid menstarter motor mereka berangkat ke puskesmas terdekat. Kira-kira sepuluh menit mereka sampai di sana. Cepat-cepat mereka berjalan dengan sedikit berlari ke dalam menuju ruang pendaftaran. Selesai, mereka dituntun seorang perawat memasuki sebuah kamar cukup besar, kamar flamboyan, di sana ada dua ranjang, ranjang yang satu sudah ditempati seorang pasien yang nampaknya berpenyakit sama. Pak hamid membaringkan wati, seorang perawat memeriksa wati dengan stetoskop, seorang perawat lagi datang membawa botol infus dan perlengkapannya.
“pak, wati bagaimana?” ibu bertanya
“tenang, bu! Wati pasti sembuh, kok!” ucap pak hamid menenangkan istrinya.
Wajar saja ibu takut dan cemas menghadapi seorang wati yang ceria didapatinya dengan sekujur tubuh lemas tak berdaya. Tak hanya itu, kecemasannya akan hal yang mengerikan tentang penyakit yang diderita wati, demam berdarah. Penyakit tersebut telah membunuh belasan korban, ibu berpikir; apakah hal yang serupa akan terjadi pada wati? Perasaan ibu agak sama dengan pak hamid. Yang membedakan hanya; bapak yang sudah kepala empat ini bingung bercampur pusing akan dana untuk membayar penyakit wati, bisa-bisa seluruh tabungan masa depan pak hamid saja tak cukup untuk membayarnya.
Sementara mereka cemas dan kebingungan, warga di sekitar rumah pak hamid geger dengan adanya berita bahwa wati terkena demam berdarah. Mereka bukan geger gara-gara wati, tapi lantaran penyakit wati tersebut. Sebelum wati menderita penyakit itu, demam berdarah belum memasuki daerah tersebut. Ketua RT yang barusaja mendengar berita tersebut kaget, layaknya seorang raja memberi titah kepada kepercayaannya, mas teguh untuk mengumukan titahnya ke seluruh penjuru kerajaan RT 3 tersebut untuk setiap rakyatnya bergotong-royong membersihkan lingkungan, menerapkan tiga M untuk mecegah penyakit ganas agar tidak mengakar di RT 3 ini. Wah, baru kali ini, RT 3 segempar ini.
Sudah seminggu wati terbaring lemas di ruang flamboyan. Beberapa tetangga datang menjenguk untuk menghibur dan membawa salam tempel atau buah-buahan sebagai peredam rasa sedih atau sekedar formalitas, itu yang sering terjadi, sudah menjadi kebiasaan umum. Beberapa pasien yang menderita penyakit demam berdarah sudah pulang, ada yang pulang ke rumah, ada juga yang benar-benar ‘pulang’. Pasien yang sekamar juga sudah sembuh sekarang ruang itu benar-benar terasa luas, bahkan dua puluh orang dewasa dapat masuk di dalamnya.
Mereka yang mengunjungi wati tak begitu berpengaruh pada keadaan sepasang suami-istri dirundung duka, bahkan semakin sedih karena keadaan wati malah bertambah parah saja. Panas di tubuhnya semakin menggila, wati tak sadarkan diri, sudah berapa liter air infus yang masuk ke tubuhnya.
“nak, ayo! Cepatlah sembuh dan bangun! Wati kan sudah janji mau rajin belajar dan dapet ranking satu!” ucap ibu lirih, sudah berapa liter air yang ibu tumpahkan dari matanya. Pak hamid yang mendengarnya langsung menangis seketika. Sungguh sedihnya kedua suami-istri itu.
“tat-tit-tut!” suara hape pak hamid berbunyi memecah suara tangis. Pak hamid mengambil hape dan membuka sms yang baru masuk itu.
“ pak, aku sedih mendengar wati sakit. Insya Allah besok iman pulang. Iman pingin melihat wati, menciumnya, dan iman juga belikan boneka barbie buat wati. Pak, iman rindu sama bapak, sama ibu, sama wati juga. Iman rindu kalian semua.”
Anakmu,
Iman Santosa
Rampung membaca pesan tadi, pak hamid berlinangan air mata. Iman adalah anak sulung dari pasangan pak hamid dan istrinya, dia sedang merajut benang ilmu di perguruan tinggi di kota nan jauh di sana.
***
Hujan turun lagi membasahi bumi Karangsuci, ini adalah hari kesebelas wati berada di puskesmas. Keadaannya masih sama seperti empat hari lalu. Mengenaskan sekali, tak henti-hentinya ibu wati menangisi anaknya, sedang pak hamid harus bekerja ekstra dan dibantu anak sulungnya mengais-ngais uang, iman membantu dengan membuka bengkel tambal ban sepeda motor. Ia sama sekali tak memikirkan bahan-bahan skripsi dan tetek bengeknya. Kerja pak hamid ditambah jam kerjanya sampai jam setengah duabelas malam. Pak hamid hanya seorang petugas gudang di sebuah supermarket terbesar di kota terdekat. Mereka satu sama lain bersatu demi kesembuhan wati satu-satunya.
Pada hari ke tigabelas, hari ini hujan cukup deras. Dokter memeriksa keadaan wati sekali lagi, malang nian, wati bukannya bertambah baik malah menjadi bertambah parah, sungguh malang sekali nasib anak tak berdosa itu. Lihat ibumu, sayang! matanya sudah kering, air matanya ia habiskan hanya untukmu seorang, nak!
Hujan masih turun walaupun sudah tak begitu deras. Pak hamid baru pulang dari lemburnya. Jam tua di dinding rumahnya menunjukkan pukul duabelas kurang seperempat. Pak hamid menuju dapur mencari-cari makanan yang dapat mengisi perut kosongnya, hingga ia temukan tiga helai roti tawar di dalam lemari es yang dibelinya mati-matian empat tahun yang lalu. Dengan segelas kopi dan tiga hlai roti tawar kiranya dapat memenuhi setengah perutnya. “Alhamdulillah!” walau merasa belum cukup, ia bersyukur. Ya! Bersyukur masih bisa diberi tiga heli roti yang berharga dan segelas kopi, sedang disana, masih banyak yang kelaparan, perut setipis kertas tak seperti pak hamid yang sedikit gendut.
Setelah dikira sudah cukup, pak hamid keluar menuju motornya untuk segera meluncur ke puskesmas dimana wati lemas di ranjang. Tak lupa ia membawa uang untuk dibeli roti bakar di jalan, mungkin istri dan anak sulungnya belum makan.
Pak hamid sudah berada di jok motornya, tiba-tiba dia dikejutkan dengan pertanda itu, pertanda yang sudah menjadi legenda di lingkungan itu, dari arah belakang rumahnya, suara itu, suara mengerikan itu. Pak hamid pucat pasi seketika. Bukan suara itu yang dia takutkan tapi esok hari yang ia takutkan, ia takut jika anaknya…, pertanda ini…
“BLUM!”
“BRUK!”
dua suara yang berurutan.
“Wati! Wati! Anakku!”
“watiiiiiii!”
“Ya Allah! Anakku!
“Anakku!”
“Jangan kau ambil dia dulu!”
“Jangaan!”
“Biar aku saja!”
“Aku saja yang Kau bawa!”
“Jangan wati!”
***
Perlahan mata pak hamid membuka. Kedua matanya tak berkedip.
“Dimana aku!” suara pak hamid memecah sunyi. Disambut suara isak tangis gembira istrinya yang sedang menuntun wati.
“Pak, bapak sudah seminggu tak sadarkan diri. Sampai wati sembuh, pak!” ucap istrinya sambil berkali-kali mengusap matanya yang basah.
“Paak, wati udah sembuh, lihat nih! Lucu, ya!” wati berusaha menenangkan bapaknya sembari memperlihatkan boneka barbie pemberian kakaknya.
“Pak, bapak kenapa? Kami semua cemas” kakak sulungnya mendekat dan memegang tangan pak hamid. Mereka semua tahu bahwa selama pak hamid tak sadarkan diri, pak hamid sering mengigau tentang wati.
Bapak menguatkan badannya untuk bangun duduk, mencoba memegang wati, lalu memangkunya. Dia tak sempat membicarakan tentang ketidak sadarnya dirinya. Dia, pak hamid lebih menyibukkan diri bersenda gurau dengan anak kesayangannya, wati. Eh! Mereka berdua adalah anak kesayangannya.
Di atas ranjang itu, di ruang itu, terdengar suara sayup-sayup tawa canda sebuah keluarga kecil, keluarga bahagia.
Mengapa kau terlalu mencintai anakmu daripada Tuhanmu sendiri?
Tamat
Pertanda itu…
Apakah akan menjadi tanda…?
Atau hanya legenda…?
Atau,
Isapan jempol saja?
Pertanda yang sebenarnya,
Adalah
Allah sendiri Yang Maha Tahu segala-galanya di dunia dan di langit.
Irham Azizi, Cilacap, 6 November 2007
di saat hujan turun begitu deras.